TUGAS_AHDE_PERLINDUNGAN KONSUMEN
PERLINDUNGAN
KONSUMEN
konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan
haknya masih rendah. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat pendidikan konsumen.
Hak-hak yang dimaksud misalnya bahwa konsumen tidak mendapatkan penjelasan
tentang manfaat barang atau jasa yang dikonsumsi. Lebih dari itu, konsumen
ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang
berimbang dengan pihak pelaku usaha.
Aktifitas
perniagaan model e-commerce produsen atau merchant lebih
cenderung memilih model perjanjian baku yang subtansinya ditentukan secara
sepihak, sehingga dalam penggunaan perjajian tersebut mempersempit ruang tawar
terhadap konsumen. Padahal, menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tetang Perlindungan Konsumen, menyebutkan larangan pelaku usaha mencantumkan
klausul baku, tanpa syarat, dalam suatu dokumen perjanjian. Dalam hal ini dapat
menimbulkan berbagai masalah baru yang timbul dalam kaitannya pencederaian
hak-hak konsumen.
Perjanjian
baku merupakan paksaan pelaku usaha terhadap konsumen, karena tidak adanya
keseimbangan tawar dalam menghadapi pelaku usaha. Sehingga model perjanjian
baku menuntut agar konsumen lebih berhati-hati dalam penentuan pilihan
barang-barang yang dipasarkan secara online. Dalam beberapa hal,
perjanjian baku tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian sebagimana
tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) yaitu
sebagai berikut:
"Semua
Perjanjian Yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan
dengan iktikad baik".
Menurut ketentuan Pasal
1338 KUH Perdata bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak terletak pada
kesepakatan adalah merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi oleh para
pihak serta dilaksanakan dengan iktikad baik.
Meski
dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, telah diatur mengenai hak-hak
konsumen, dan perbuatan-perbuatan yang dilarang bag! produsen, apakah UUPK
tersebut dapat ditrapkan pada transaksi e-commerce. Dengan adanya permasalahan
dalam e-commerce ini hak-hak konsumen sering diabaikan oleh para pelaku
usaha yaitu dengan adanya ketidak layakan produk yang dikonsumsi konsumen dan
tidak pula sesuai dengan apa yang dipromosikan, sehingga hak-hak konsumen
sering diabaikan oleh mereka.
Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagai wujud
untuk
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam
Undang-Undang Dasar 1945
Perlindungan hukum bagi konsumen dilandasi dengan
Undang-Undang Dasar 1945 yang tertuang pada alinea keempat berbunyi adalah
sebagai berikut
"Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia".
Adapun landasan hukum lainnya terdapat pada
ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, adalah sebagai
berikut:
"Tiap warga negara berhak atas penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan".
Landasan hukum pada Undang-Undang Dasar 1945
tersebut diatas adalah merupakan landasan hukum bagi segenap Warga Negara
Indonesia untuk mendapatkan haknya atas penghidupan yang layak dan perlindungan
oleh pemerintah.
Apabila seseorang telah terganggu atau diganggu oleh pihak
lain, maka alat-alat negara akan merespon dan turun tangan baik diminta ataupun
tidak, untuk melindungi dan atau mencegah gangguan/ atau permasalahan tersebut.
Mendapatkan kehidupan yang layak bagi merupakan hak bagi segenap warga negara
dan merupakan hak semua orang. Maka konsumen yang merupakan Warga Negara
Indonesia yang dirugikan dalam transaksi perdagangan dan dirugikan akibat
mengkonsumsi barang dan / atau jasa, perlu mendapatkan perlindungan hukum oleh
pemerintah selaku penyelenggara Negara.
Adapun beberapa alasan yang menyebabkan pemerintah
perlu turut serta dalam memberikan perlindungan pada transaksi perdaganga e-commerce,
adalah sebagi berikut:
a. Untuk melindungi kepentingan konsumen dan
produsen;
b. Menghindarkan berkembangnya praktek-praktek
bisnis curang/ atau tidak sehat (unfair trade practices);
c.
Menciptakan keterbukaan/ atau transparansi;
d.
Menciptakan iklim berusaha yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang
sehat;
Maka
dari pada itu pemerintah sebagai penyelenggara negara, mempunyai kewajiban dan
kewenangan guna menjamin perlindungan warga negaranya, dalam hal ini produsen
dan konsumen dalam menjalankan transaksi perdagangan secara elektronik,
sehingga dapat mewujudkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian bagi para
pihak baik produsen (merchant) ataupun konsumen.
Perlindungan
Hukum Bagi Konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
Undang-Undang
Perlindungan Konsumen mendefinisikan bahwa hukum perlindungan konsumen adalah
sebagai keseluruhan asas dan kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen
dalam hubungan dan berbagai masalahnya dengan para penyedia barang dan / atau
jasa (produsen).
Hubungan hukum antara produsen penyedia barang
dan / atau jasa dengan konsumen melahirkan suatu hak dan kewajiban yang
mendasari terdptanya suatu tanggung jawab. Pada prinsipnya, pelaku usaha dapat
dimintai pertanggung jawaban bila timbul suatu. kerugian konsumen akibat
perbuatan wanprestasi pelaku usaha dalam transaksi e-commerce, misalnya
pelaku usaha/ merchant sama sekali tidak memenuhi perjanjian,
melaksanakan prestasi tetapi terlambat memenuhi perjanjian, kekeliruan dalam
pemenuhan prestasi, sehingga perbuatan wanprestasi tersebut mengakibatkan tidak
terlaksananya suatu kewajiban hukum pada jenis transaksi dengan berbagai
medium, dalam hal ini transaksi yang menggunanakan media internet (e-commerce).
Perlindungan hukum bagi para pihak pada intinya
adanya peranan pemerintah untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen
dalam lingkup perniagaan, adapun peranan pemerintah yang dimaksud meliputi
tuntutan kepastian hukum pada aspek hukum nasional melalui regulasi peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dan aspek hukum
internasional yaitu melalui perjanjian internasional, atau harmonisasi hukum.
Hal ini
sejalan dengan kebijakan datam "A Framework For Global Electronic
Commerce" di Amerika yang menyatakan bahwa terhadap ketentuan atau
hal-hal yang membutuhkan peranan pemerintah.
haruslah dibutuhkan peranan pemerintah haruslah
ditujukan untuk mendorong serta menegakkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yag berlaku sepertihalnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) di Indonesia, atau seperti halnya bentuk model
law dalam UNOTRAL yang dapat digunakan untuk memahami permasalal .an hukum
seputar transaksi e-commecre. Kerangka yang mendasari suatu prinsip
tanggung jawab pelaku usaha lebih mendapat perhatian khusus dalam penelitian
ini dikarenakan terkait kedudukan pihak konsumen yang lemah terhadap pihak
produsen dalam melakukan transaksi jual beli melalui e-commerce.
Transaksi
jual beli melalui e-commerce merupakan perikatan yang terjadi antara
para pihak adalah merupakan wujud dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal
1233 jo Pasal 1234 KUH Perdata, adalah sebagai berikut:
Pasal 1233 KUH Perdata, adalah sebagai berikut:
"Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena
undang-undang."
Pasal
1234 KUH Perdata, adalah sebagai berikut: "Tiap-tiap perikatan adalah
untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu."
Ketentuan hukum yang
mengatur bentuk pelanggaran oleh pelaku usaha periklanan sebelumnya memang
tidak diatur ekplisit dalam KUH Perdata, akan tetapi dalam Pasal 1473 KUH
Perdata menyatakan bahwa, "Si penjual diwajibkan menyatakan dengan tegas
untuk apa ia mengikatkan dirinya, segala janji yang tidak terang dan dapat
diberikan berbagai pengertian, harus ditafsirkan untuk kerugiannya." Oleh
karena itu pelaku usaha harus memberikan informasi dengan objektif, secara
tegas, dan jelas oleh pelaku usaha periklanan.
Sebagaimana
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Teknologi
dan Elektronik (UU ITE) menyebutkan para pihak dalam bertransaksi harus dengan
iktikad baik, sebagaimana dalam Pasal 17 UU ITE menyebutkan, bahawa para pihak
yang melakukan transaksi elektronik baik secara publik atau privat wajib
beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/ atau pertukaran Informasi
Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik selama transakst berlangsung."
Iktikad baik dalam transaksi
serta
memberikan informasi atau representasi produk oleh pelaku usaha yang ditawarkan
melalui webvertising sangat penting sekali untuk menjamin barang dan/
atau jasa yang ditawarkan tesebut sehingga konsumen dapat mengkonsumsinya
dengan aman.
Adapun
larangan-larangan terhadap pelaku usaha dalam merepresentasikan suatu barang
dan / atau jasa tercantum dalam Pasal 9 Jo Pasal 17 ayat (1) UUPK.
Subtansi
Pasal 9 UUPK tersebut diatas adalah merupakan representasi dimana pelaku usaha
wajib memberikan informasi/ perjelasan yang sebenar-benarnya atas barang/ atau
jasa yang dipromosikan serta diperdagangkannya. Hal ini menjadi penting,
dikarenakan kita ketahui bahwa salah satu penyebab terjadinya kerugian konsumen
adalah misrepresentasi terhadap barang dan/ atau jasa tertentu yang hendak
dikonsumsinya.
Pada umumnya kerugian yang diderita oleh konsumen pada awalnya
dalam jula-beli e-commerce adalah tergiumya konsumen oleh iklan atau
brosur dan jaminan atau garansi pada barang dan/ atau jasa yang tidak benar.
Informasi adalah merupakan janji yang dinyatakan dalam penawaran, promosi, dan
pengiklanan barang dan/ atau jasa tersebut menjadi alat bukti yang
dipertimbangkan oleh hakim dalam atas gugatan yang berdasarkan wanprestasi
pelaku usaha.
Tanggung
jawab dibebankan kepada para pelaku usaha baik yang memproduksi/ mempromosikan
/ mengiklankan barang dan / atau jasa di internet ataupun pelaku usaha
periklanan, dalam merepresentasikan suatu produk secara tidak benar, baik
dengan alasan wanprestasi maupun dengan alasan perbuatan melawan hukum adalah
merupakan sarana yang dapat memberikan perlindungan konsumen karena dengan
adanya pertanggung jawaban tersebut pihak produsen lebih berhati-hati dalam
merepresentasikan suatu produk dan / atau jasa, sehingga konsumen dapat
memperoleh informasi yang benar terhadap suatu produk dan / atau jasa yang
ditawarkan oleh produsen dalam webvertising pada suatu toko online.
UUPK memberikan
larangan ketentuan pencantuman klausula baku yang tidak memenuhi syarat
sebagaimana terakomodir dalam Pasal 18 ayat (1) UUPK, larangan pencantuman
klausula baku tersebut dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara
dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak dengan batasan
iktikad baik pada para pihak. Klausula baku yang dibuat secara sepihak oleh
pelaku usaha serta tanpa memperhatikan syarat yang telah ditentukan dalam pasal
tersebut akan berpotensi menghapus tenggung jawab pelaku usaha. Para ahli hukum
dari berlakunya perjanjian baku selain dari segi keabsahaanya adalah adanya
klausul-klausul yang tidak adit dan sangat memberatkan salah satu pihak umumnya
pada kopsumen.
Pada
dasarnya, kontrak baku mengadung persyardtan yang mempunyai konsekuensi
sebagaimana yang terdapat pada kontrak baku dalam e-commerce, adalah
diantaranya sebagai berikut:
1.
Mengurangi atau menghapuskan tanggung jawab pelaku usaha / merchant atas
akibat hukum tertentu, seperti halnya ganti rugi akibat wanprestasi.
2.
Membatasi atau menghapuskan tanggung jawab kewajiban tertentu pelaku usaha / merchant,
seperti halnya memberikan informasi atas kualitas barang.
Perjanjian
e-commerce pada umumnya menggunakan perjanjian baku yang mana perjanjian
ditetapkan lebih awal secara sepihak oleh pelaku usaha sehingga sering
menimbulkan berbagai masalah serta kerugian bagi konsumen. Adapun kerugian yang
sering kali dalam transaksi e-commerce pada umumnya dan pada khususnya
transaksi e-commerce business to consumer (B2C) adalah sebagai berikut:
a)
Barang dan / atau jasa yang sudah dibeli tidak sampai ke tangan konsumen;
b)
Barang dan / atau jasa yang telah dibeli tidak sesuai promosi yang diberikan
pada konsumennya.
c)
Barang dan / atau jasa yang sudah dibeli oleh konsumen mengalami keterlambatan
dalam pengiriman;
Kerugian-kerugian
yang terjadi pada konsumen tersebut adalah merupakan tindakan praktik curang
akibat posisi pelaku usaha yang dominan dalam melakukan transaksi e-commerce.
Teori perlindungan
hukum preventif Phillipus M. Hudjon, menyatakan bahwa perlindungan hukum
preventif merupakan perlindungan hukum bagi masyarakat yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya pemasalahan atau sengketa.
Upaya
Hukum Bagi Konsumen dalam Perjanjian E-Commerce di Indonesia
A.
Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Litigasi
Sengketa
konsumen disini dibatasi pada perkara-perkara perdata. Penyelesaian sengketa
konsumen secara “ligitasi” adalah merupakan penyelesaian sengketa melalui
pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 48 UUPK, yang
menyatakan sebagai berikut :
Pasal
45 ayat (1) UUPK
Setiap
konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum. Pasal 48 UUPK
Penyelesaian
sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan
umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
Dan
ditegaskan dalam Pasal 38 ayat (1) jo Pasal 29 (1) UUITE, menyatakan sabagai
berikut:
Pasal
38 ayat (1) UUITE
Setiap
Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem
Elektronik dan / atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan
kerugian.
Pasal
29 ayat (1) UUITE
Gugatan
perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam
kasus perdata di Pengadilan Negeri, pihak konsumen diberikan hak mengajukan
gugatan atas pelanggaran pelaku usaha sebagaimana ditegaskan pada Pasal 46 ayat
(1) UUPK, adalah sebagai berikut:
a.
Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b.
Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama;
c.
Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakankegiatan sesuai dengan
anggaran dasarnya;
d.
Pemerintah dan / atau instansi terkait apabila barang dan / atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau
korban yang tidak sedikit.
Dalam hukum
perlindungan konsumen, secara umum proses beracara dalam menyelesaiakan
sengketa konsumen dan pelaku usaha mengenal adanaya 3 (tiga) macam gugatan,
yaitu:
1.
Small Claim tribunal, jenis gugatan yang dapat dilakukan oleh konsumen,
sekalipun dilihat secara ekonomis nilai gugatannya sangat kecil.
2.
Class Action, adalah gugatan konsumen dimana korbanya lebih dan satu
orang atau gugatan yang dilakukan oleh sekelompok orang.
3.
Legal Standing, adalah gugatan yang dilakukan sekelompok konsumen
dengan menunjuk pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dalam kegiatannya
berkonsentrasi pada kegiatan konsumen untuk mewakili kepentingan konsumen atau
dikenal dengan Hak Gugat LSM.
Penyelesain
sengketa melalui pengadilan (litigasi) memungkinkan ditempuh apabila
para pihak belum menentukan penyelesai sengketa konsumen tersebut belum
berupaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi).
Penyelesaian
sengketa dengan menggunakan hukum acara baik, perdata, pidana, ataupun secara
administrasi negara, telah membawa keuntungan dan kerugian bagi konsumen dalam
proses berperkaranya, akan tetapi tentang beban-beban biaya yang ditanggung
pihak penggugat yang tidak sedikit dalam hal hi konsumen akan membawa kesulitan
serta kendala bagi konsumen jika berperkara di ranah pengadilan umum.
Disamping
itu penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak
merusak hubungan bisnis selanjutnya penyelesaian sengketa yang dikehendaki
adalah berlangsung dengan cepat dan murah. Adapun kesulitan dan kendala yang
hendak dihadapi oleh konsumen dan pelaku usaha dalam penyelesaian sengketa
secara litigasi adalah sebagai berikut:
1.
Penyelesaian sengketa secara litigasi sangat lambat;
2.
Biaya perkara yang relatif mahal;
3.
Pengadilan pada umumnya tidak responsif;
4.
Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah;
5.
Kemampuan para hakim yang bersifat generalis;
Berdasarkan berbagai
kekurangan penyelesaian sengketa secara litigasi, sehingga dalam dunia bisnis para
pihak yang bersengketa lebih memilih menyelesaikan sengketa secara non litigasi
yang sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis karena prosesnya relatif cepat dan
biaya ringan.
B.
Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Non Litigasi
Jalur
non litigasi adalah merupakan mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan
dengan cara menggunakan mekanisme yang hidup dalam masyarakat seperti halnya,
secara musyawarah, perdamaian, kekeluargaan dan sebagainya. Pada dewasa ini
cara yang sekarang berkembang dan diminati oleh para pelaki* bisnis adalah
melalui lembaga ADR (Alternative Dispute Resolution).
Adapun
bentuk-bentuk penyelesaian sengketa konsumen "non litigasi', dalam
Pasal 52 huruf (a) adalah arbitrase, konsiliasi, dan mediasi adalah sebagi
berikut:
1)
Arbitrase, menurut Pasal 1 UU No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah merupakan
cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
2)
Konsiliasi; (Pemufakatan), merupakan bentuk penyelesaian sengketa dengan
intervensi pihak ketiga (konsiliator), dimana konsiliator lebih bersifat aktif,
dengan mengambil inisiatif menyusun dan merumuskan langkah-langkah
penyelesaian, yang selanjutnya diajukan dan ditawarkan membuat kepada pihak
yang bersengketa.
3)
Mediasi (Penengahan), adalah merupakan proses negosiasi pemecahan masalah di
mana pihak ketiga (mediator) yang tidak memihak (impartial) bekerja sama
dengan pihak yang bersengketa untlik membantu memperoleh kesepakatan perjanjian
dengan memuaskan, yang kedudukannya hanya sebagai penasihat, tidak berwewenang
untuk member! keputusan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.
Penyelesaian Sengketa
Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dibentuk pemerintah di
tiap-tiap daerah untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan secara murah,
cepat dan sederhana. Secara teknis Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK diatur dalam
Surak Keputusan (SK) Menperindag Nomor.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan
Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, adalah sebagai
berikut:
a.
Melaksanakan penaganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara
konsiliasi, mediasi dan arbitrase;
b.
Memberikan konsultasi periindungan konsumen;
c.
Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d.
Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
e.
Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f.
Melakukan penelitian dan meperiksaan sengketa periindungan konsumen;
g.
Mendapatkan, meneliti dan / atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain
guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan;
h.
Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
periindungan konsumen;
Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berfungsi menangani dan menyelesaikan
sengketa diluar jalur pengadilan. Oleh karena itu BPSK mempunyai kewenangan,
adalah sebagai berikut:
a.
Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
b.
Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan atau setiap orang orang yang
diduga mengetahui pelanggaran terhadap Undang-Undang Npmor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK);
c.
Meminta bantuan pada penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi
ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK;
d.
Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian dipihak konsumen;
e.
Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
UUPK pasal 52;
Dengan demikian,
apabila keberatan yang dijatuhkan telah memenuhi syarat seperti yang tercantum
dalam Pasal 6 ayat (3), majelis hakim dapat menerbitkan pembatalan putusan
BPSK. Jadi, konsumen hanya dapat mengajukan permohonan eksekusi terhadap
putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan kepada PN. Oleh karena itu
permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang telah diperiksa melalui prosedur
keberatan, ditetapkan oleh PN yang memutus perkara keberatan bersangkutan
(Pasal 7 ayat 1 dan 2 Perma No.l tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan
Keberatan Terhadap Putusan Badan penyelesaian Sengketa Konsumen).
contoh kasus:
JAKARTA - Kasus beli iPhone 6 Plus dapat
sabun mandi melalui situs belanja online Lazada yang dialami seseorang bernama
Danis Darusman, disebut-sebut mampu menimbulkan dampak buruk bagi e-commerce di
Indonesia.
Menurut
Sekjen Indonesia Telecommunications Users Group (IDUTG), Muhammad Jumadi,
mengatakan, permasalahan yang banyak dialami e-commerce saat ini adalah
masuknya data yang besar namun tidak diimbangi oleh sistem aplikasi yang baik.
BERITA
TERKAIT +
“Salah satu permasalahan dalam e-commerce
ialah dengan data yang besar banyak kemungkinan salah code apabila tidak
disiapkan sistem aplikasi yang memadai, perlu adanya sistem keamanan yang
memadai sehingga data tidak mudah di-hacked,” ujar Jumadi kepada Okezone.
Meskipun
tidak ada indikasi di-hack atau sistem keamanan yang dimiliki Lazada
telah benar-benar aman, Lazada tetap perlu melakukan evaluasi terkait sistem
yang ada di dalam tubuh mereka.
“Jika sistem
keamanan data Lazada memang sudah secure, ada kemungkinan kesalahan kode barang
dalam sistem di Lazada yang menyebabkan peristiwa itu dapat terjadi,” tambah
Jumadi.
Jumadi
memberikan beberapa catatannya terkait masalah salah kirim barang yang
dilakukan Lazada tersebut. Ia pun mengungkapkan jika konsumen yang merasa
dirugikan dapat menuntut e-commerce bersangkutan karena memang ada dasar
hukumnya.
“Seharusnya
Lazada mempunyai sistem informasi tracking barang tepat yang disesuaikan
dengan kode booking dan jumlah pembayaran, tidak mungkin konsumen bayar dengan
nilai yang mahal untuk sabun batangan,” papar Jumadi.
“UU No. 8
perlindungan konsumen bisa digunakan oleh konsumen untuk mengklaim hal
tersebut. Peristiwa terkait Lazada dapat menjadi preseden buruk bagi e-commerce
kalau sampai terjadi salah kirim barang bisa jadi boomerang untuk e-commerce
lain di Indonesia,” tambahnya.
Daftar Pustaka
Ade Maman Suherman.,
2005, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Cet. Kedua (Edisi Revisi), Bogor,
Ghalia, Indonesia.
Ahmadi Miru dan
Sulaiman Yodo., 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Abdul Halim
Barkullullah dan Syahrida., 2010, “Sengketa Transaksi E-Commerce Internasional”
(Pengertian Sebab Kemunculan Metode Penyelesaian yang Efektif), Banjarmasin :
FH. Unhas Press.
Bambang Suyoso., 2004,
Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Didik M. Arief Mansur
dan Elisatris Gultom., 2005, Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Informasi, Cet.
I, Bandung : PT. Rafika Aditama.
Edmon Makarim., 2004,
Kompilasi Hukum Telematika, Cet. II, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Philipus M. Hadjon.,
1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya : Bina Ilmu.
Soejono dan H.
Abdurrahman., 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta.
Soerjono Soekanto., 2006, Pengantar
Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press.
Sriwati, Perlindungan Hukum bagi
Pihak dalam Perjanjian Baku, Jurnal Yustika, Vol. III No. 2 Desember 2000.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Republik
Indonesia 1945.
Kitab Undang-undang
Hukum Perdata Indonesia (Burgerlijk Wetboek).
Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
TUGAS_AHDE_PERLINDUNGAN KONSUMEN
Reviewed by HI
on
7:14 AM
Rating:
No comments: