TUGAS_AHDE_PERLINDUNGAN KONSUMEN


PERLINDUNGAN KONSUMEN

konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini disebabkan rendahnya tingkat pendidikan konsumen. Hak-hak yang dimaksud misalnya bahwa konsumen tidak mendapatkan penjelasan tentang manfaat barang atau jasa yang dikonsumsi. Lebih dari itu, konsumen ternyata tidak memiliki bargaining position (posisi tawar) yang berimbang dengan pihak pelaku usaha.
Aktifitas perniagaan model e-commerce produsen atau merchant lebih cenderung memilih model perjanjian baku yang subtansinya ditentukan secara sepihak, sehingga dalam penggunaan perjajian tersebut mempersempit ruang tawar terhadap konsumen. Padahal, menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tetang Perlindungan Konsumen, menyebutkan larangan pelaku usaha mencantumkan klausul baku, tanpa syarat, dalam suatu dokumen perjanjian. Dalam hal ini dapat menimbulkan berbagai masalah baru yang timbul dalam kaitannya pencederaian hak-hak konsumen.
Perjanjian baku merupakan paksaan pelaku usaha terhadap konsumen, karena tidak adanya keseimbangan tawar dalam menghadapi pelaku usaha. Sehingga model perjanjian baku menuntut agar konsumen lebih berhati-hati dalam penentuan pilihan barang-barang yang dipasarkan secara online. Dalam beberapa hal, perjanjian baku tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian sebagimana tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) yaitu sebagai berikut:
"Semua Perjanjian Yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik".
Menurut ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak terletak pada kesepakatan adalah merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi oleh para pihak serta dilaksanakan dengan iktikad baik.
Meski dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, telah diatur mengenai hak-hak konsumen, dan perbuatan-perbuatan yang dilarang bag! produsen, apakah UUPK tersebut dapat ditrapkan pada transaksi e-commerce. Dengan adanya permasalahan dalam e-commerce ini hak-hak konsumen sering diabaikan oleh para pelaku usaha yaitu dengan adanya ketidak layakan produk yang dikonsumsi konsumen dan tidak pula sesuai dengan apa yang dipromosikan, sehingga hak-hak konsumen sering diabaikan oleh mereka.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagai wujud untuk 


Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Undang-Undang Dasar 1945
Perlindungan hukum bagi konsumen dilandasi dengan Undang-Undang Dasar 1945 yang tertuang pada alinea keempat berbunyi adalah sebagai berikut
"Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia".
Adapun landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan dalam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, adalah sebagai berikut:
"Tiap warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".
Landasan hukum pada Undang-Undang Dasar 1945 tersebut diatas adalah merupakan landasan hukum bagi segenap Warga Negara Indonesia untuk mendapatkan haknya atas penghidupan yang layak dan perlindungan oleh pemerintah. 
Apabila seseorang telah terganggu atau diganggu oleh pihak lain, maka alat-alat negara akan merespon dan turun tangan baik diminta ataupun tidak, untuk melindungi dan atau mencegah gangguan/ atau permasalahan tersebut. 
Mendapatkan kehidupan yang layak bagi merupakan hak bagi segenap warga negara dan merupakan hak semua orang. Maka konsumen yang merupakan Warga Negara Indonesia yang dirugikan dalam transaksi perdagangan dan dirugikan akibat mengkonsumsi barang dan / atau jasa, perlu mendapatkan perlindungan hukum oleh pemerintah selaku penyelenggara Negara.

Adapun beberapa alasan yang menyebabkan pemerintah perlu turut serta dalam memberikan perlindungan pada transaksi perdaganga e-commerce, adalah sebagi berikut:
a. Untuk melindungi kepentingan konsumen dan produsen;
b. Menghindarkan berkembangnya praktek-praktek bisnis curang/ atau tidak sehat (unfair trade practices);
c. Menciptakan keterbukaan/ atau transparansi;
d. Menciptakan iklim berusaha yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sehat;
Maka dari pada itu pemerintah sebagai penyelenggara negara, mempunyai kewajiban dan kewenangan guna menjamin perlindungan warga negaranya, dalam hal ini produsen dan konsumen dalam menjalankan transaksi perdagangan secara elektronik, sehingga dapat mewujudkan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian bagi para pihak baik produsen (merchant) ataupun konsumen.
 


Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Undang-Undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan bahwa hukum perlindungan konsumen adalah sebagai keseluruhan asas dan kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan berbagai masalahnya dengan para penyedia barang dan / atau jasa (produsen).
 Hubungan hukum antara produsen penyedia barang dan / atau jasa dengan konsumen melahirkan suatu hak dan kewajiban yang mendasari terdptanya suatu tanggung jawab. Pada prinsipnya, pelaku usaha dapat dimintai pertanggung jawaban bila timbul suatu. kerugian konsumen akibat perbuatan wanprestasi pelaku usaha dalam transaksi e-commerce, misalnya pelaku usaha/ merchant sama sekali tidak memenuhi perjanjian, melaksanakan prestasi tetapi terlambat memenuhi perjanjian, kekeliruan dalam pemenuhan prestasi, sehingga perbuatan wanprestasi tersebut mengakibatkan tidak terlaksananya suatu kewajiban hukum pada jenis transaksi dengan berbagai medium, dalam hal ini transaksi yang menggunanakan media internet (e-commerce). 

Perlindungan hukum bagi para pihak pada intinya adanya peranan pemerintah untuk melindungi kepentingan produsen dan konsumen dalam lingkup perniagaan, adapun peranan pemerintah yang dimaksud meliputi tuntutan kepastian hukum pada aspek hukum nasional melalui regulasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen dan aspek hukum internasional yaitu melalui perjanjian internasional, atau harmonisasi hukum.

 Hal ini sejalan dengan kebijakan datam "A Framework For Global Electronic Commerce" di Amerika yang menyatakan bahwa terhadap ketentuan atau hal-hal yang membutuhkan peranan pemerintah

haruslah dibutuhkan peranan pemerintah haruslah ditujukan untuk mendorong serta menegakkan ketentuan peraturan perundang-undangan yag berlaku sepertihalnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) di Indonesia, atau seperti halnya bentuk model law dalam UNOTRAL yang dapat digunakan untuk memahami permasalal .an hukum seputar transaksi e-commecre. Kerangka yang mendasari suatu prinsip tanggung jawab pelaku usaha lebih mendapat perhatian khusus dalam penelitian ini dikarenakan terkait kedudukan pihak konsumen yang lemah terhadap pihak produsen dalam melakukan transaksi jual beli melalui e-commerce.


Transaksi jual beli melalui e-commerce merupakan perikatan yang terjadi antara para pihak adalah merupakan wujud dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1233 jo Pasal 1234 KUH Perdata, adalah sebagai berikut:

Pasal 1233 KUH Perdata, adalah sebagai berikut: "Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang."
Pasal 1234 KUH Perdata, adalah sebagai berikut: "Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu."
Ketentuan hukum yang mengatur bentuk pelanggaran oleh pelaku usaha periklanan sebelumnya memang tidak diatur ekplisit dalam KUH Perdata, akan tetapi dalam Pasal 1473 KUH Perdata menyatakan bahwa, "Si penjual diwajibkan menyatakan dengan tegas untuk apa ia mengikatkan dirinya, segala janji yang tidak terang dan dapat diberikan berbagai pengertian, harus ditafsirkan untuk kerugiannya." Oleh karena itu pelaku usaha harus memberikan informasi dengan objektif, secara tegas, dan jelas oleh pelaku usaha periklanan. 

Sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Teknologi dan Elektronik (UU ITE) menyebutkan para pihak dalam bertransaksi harus dengan iktikad baik, sebagaimana dalam Pasal 17 UU ITE menyebutkan, bahawa para pihak yang melakukan transaksi elektronik baik secara publik atau privat wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/ atau pertukaran Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik selama transakst berlangsung." Iktikad baik dalam transaksi
 


serta memberikan informasi atau representasi produk oleh pelaku usaha yang ditawarkan melalui webvertising sangat penting sekali untuk menjamin barang dan/ atau jasa yang ditawarkan tesebut sehingga konsumen dapat mengkonsumsinya dengan aman.
Adapun larangan-larangan terhadap pelaku usaha dalam merepresentasikan suatu barang dan / atau jasa tercantum dalam Pasal 9 Jo Pasal 17 ayat (1) UUPK.
Subtansi Pasal 9 UUPK tersebut diatas adalah merupakan representasi dimana pelaku usaha wajib memberikan informasi/ perjelasan yang sebenar-benarnya atas barang/ atau jasa yang dipromosikan serta diperdagangkannya. Hal ini menjadi penting, dikarenakan kita ketahui bahwa salah satu penyebab terjadinya kerugian konsumen adalah misrepresentasi terhadap barang dan/ atau jasa tertentu yang hendak dikonsumsinya. 
Pada umumnya kerugian yang diderita oleh konsumen pada awalnya dalam jula-beli e-commerce adalah tergiumya konsumen oleh iklan atau brosur dan jaminan atau garansi pada barang dan/ atau jasa yang tidak benar. Informasi adalah merupakan janji yang dinyatakan dalam penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/ atau jasa tersebut menjadi alat bukti yang dipertimbangkan oleh hakim dalam atas gugatan yang berdasarkan wanprestasi pelaku usaha.
Tanggung jawab dibebankan kepada para pelaku usaha baik yang memproduksi/ mempromosikan / mengiklankan barang dan / atau jasa di internet ataupun pelaku usaha periklanan, dalam merepresentasikan suatu produk secara tidak benar, baik dengan alasan wanprestasi maupun dengan alasan perbuatan melawan hukum adalah merupakan sarana yang dapat memberikan perlindungan konsumen karena dengan adanya pertanggung jawaban tersebut pihak produsen lebih berhati-hati dalam merepresentasikan suatu produk dan / atau jasa, sehingga konsumen dapat memperoleh informasi yang benar terhadap suatu produk dan / atau jasa yang ditawarkan oleh produsen dalam webvertising pada suatu toko online.
UUPK memberikan larangan ketentuan pencantuman klausula baku yang tidak memenuhi syarat sebagaimana terakomodir dalam Pasal 18 ayat (1) UUPK, larangan pencantuman klausula baku tersebut dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak dengan batasan iktikad baik pada para pihak. Klausula baku yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha serta tanpa memperhatikan syarat yang telah ditentukan dalam pasal tersebut akan berpotensi menghapus tenggung jawab pelaku usaha. Para ahli hukum dari berlakunya perjanjian baku selain dari segi keabsahaanya adalah adanya klausul-klausul yang tidak adit dan sangat memberatkan salah satu pihak umumnya pada kopsumen. 

Pada dasarnya, kontrak baku mengadung persyardtan yang mempunyai konsekuensi sebagaimana yang terdapat pada kontrak baku dalam e-commerce, adalah diantaranya sebagai berikut:
1. Mengurangi atau menghapuskan tanggung jawab pelaku usaha / merchant atas akibat hukum tertentu, seperti halnya ganti rugi akibat wanprestasi.
2. Membatasi atau menghapuskan tanggung jawab kewajiban tertentu pelaku usaha / merchant, seperti halnya memberikan informasi atas kualitas barang.
 


Perjanjian e-commerce pada umumnya menggunakan perjanjian baku yang mana perjanjian ditetapkan lebih awal secara sepihak oleh pelaku usaha sehingga sering menimbulkan berbagai masalah serta kerugian bagi konsumen. Adapun kerugian yang sering kali dalam transaksi e-commerce pada umumnya dan pada khususnya transaksi e-commerce business to consumer (B2C) adalah sebagai berikut:
a) Barang dan / atau jasa yang sudah dibeli tidak sampai ke tangan konsumen;
b) Barang dan / atau jasa yang telah dibeli tidak sesuai promosi yang diberikan pada konsumennya.
c) Barang dan / atau jasa yang sudah dibeli oleh konsumen mengalami keterlambatan dalam pengiriman;
Kerugian-kerugian yang terjadi pada konsumen tersebut adalah merupakan tindakan praktik curang akibat posisi pelaku usaha yang dominan dalam melakukan transaksi e-commerce.
Teori perlindungan hukum preventif Phillipus M. Hudjon, menyatakan bahwa perlindungan hukum preventif merupakan perlindungan hukum bagi masyarakat yang bertujuan untuk mencegah terjadinya pemasalahan atau sengketa. 


Upaya Hukum Bagi Konsumen dalam Perjanjian E-Commerce di Indonesia
A. Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Litigasi
Sengketa konsumen disini dibatasi pada perkara-perkara perdata. Penyelesaian sengketa konsumen secara “ligitasi” adalah merupakan penyelesaian sengketa melalui pengadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) jo Pasal 48 UUPK, yang menyatakan sebagai berikut :
Pasal 45 ayat (1) UUPK
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum. Pasal 48 UUPK
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
Dan ditegaskan dalam Pasal 38 ayat (1) jo Pasal 29 (1) UUITE, menyatakan sabagai berikut:
Pasal 38 ayat (1) UUITE
Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan / atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian.
Pasal 29 ayat (1) UUITE
Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam kasus perdata di Pengadilan Negeri, pihak konsumen diberikan hak mengajukan gugatan atas pelanggaran pelaku usaha sebagaimana ditegaskan pada Pasal 46 ayat (1) UUPK, adalah sebagai berikut:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama;
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakankegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. Pemerintah dan / atau instansi terkait apabila barang dan / atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
 


Dalam hukum perlindungan konsumen, secara umum proses beracara dalam menyelesaiakan sengketa konsumen dan pelaku usaha mengenal adanaya 3 (tiga) macam gugatan, yaitu:
1. Small Claim tribunal, jenis gugatan yang dapat dilakukan oleh konsumen, sekalipun dilihat secara ekonomis nilai gugatannya sangat kecil. 

2. Class Action, adalah gugatan konsumen dimana korbanya lebih dan satu orang atau gugatan yang dilakukan oleh sekelompok orang.

3. Legal Standing, adalah gugatan yang dilakukan sekelompok konsumen dengan menunjuk pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dalam kegiatannya berkonsentrasi pada kegiatan konsumen untuk mewakili kepentingan konsumen atau dikenal dengan Hak Gugat LSM.
Penyelesain sengketa melalui pengadilan (litigasi) memungkinkan ditempuh apabila para pihak belum menentukan penyelesai sengketa konsumen tersebut belum berupaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi). 
 Penyelesaian sengketa dengan menggunakan hukum acara baik, perdata, pidana, ataupun secara administrasi negara, telah membawa keuntungan dan kerugian bagi konsumen dalam proses berperkaranya, akan tetapi tentang beban-beban biaya yang ditanggung pihak penggugat yang tidak sedikit dalam hal hi konsumen akan membawa kesulitan serta kendala bagi konsumen jika berperkara di ranah pengadilan umum. 
Disamping itu penyelesaian sengketa dalam dunia bisnis diharapkan sedapat mungkin tidak merusak hubungan bisnis selanjutnya penyelesaian sengketa yang dikehendaki adalah berlangsung dengan cepat dan murah. Adapun kesulitan dan kendala yang hendak dihadapi oleh konsumen dan pelaku usaha dalam penyelesaian sengketa secara litigasi adalah sebagai berikut:
 


1. Penyelesaian sengketa secara litigasi sangat lambat;
2. Biaya perkara yang relatif mahal;
3. Pengadilan pada umumnya tidak responsif;
4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah;
5. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis; 

Berdasarkan berbagai kekurangan penyelesaian sengketa secara litigasi, sehingga dalam dunia bisnis para pihak yang bersengketa lebih memilih menyelesaikan sengketa secara non litigasi yang sangat dibutuhkan dalam dunia bisnis karena prosesnya relatif cepat dan biaya ringan.




B. Penyelesaian Sengketa Konsumen Secara Non Litigasi
Jalur non litigasi adalah merupakan mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan dengan cara menggunakan mekanisme yang hidup dalam masyarakat seperti halnya, secara musyawarah, perdamaian, kekeluargaan dan sebagainya. Pada dewasa ini cara yang sekarang berkembang dan diminati oleh para pelaki* bisnis adalah melalui lembaga ADR (Alternative Dispute Resolution). 



Adapun bentuk-bentuk penyelesaian sengketa konsumen "non litigasi', dalam Pasal 52 huruf (a) adalah arbitrase, konsiliasi, dan mediasi adalah sebagi berikut:
1) Arbitrase, menurut Pasal 1 UU No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
2) Konsiliasi; (Pemufakatan), merupakan bentuk penyelesaian sengketa dengan intervensi pihak ketiga (konsiliator), dimana konsiliator lebih bersifat aktif, dengan mengambil inisiatif menyusun dan merumuskan langkah-langkah penyelesaian, yang selanjutnya diajukan dan ditawarkan membuat kepada pihak yang bersengketa.
3) Mediasi (Penengahan), adalah merupakan proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak ketiga (mediator) yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untlik membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan, yang kedudukannya hanya sebagai penasihat, tidak berwewenang untuk member! keputusan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut.
Penyelesaian Sengketa Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dibentuk pemerintah di tiap-tiap daerah untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan secara murah, cepat dan sederhana. Secara teknis Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK diatur dalam Surak Keputusan (SK) Menperindag Nomor.350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, adalah sebagai berikut:
a. Melaksanakan penaganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi, mediasi dan arbitrase;
b. Memberikan konsultasi periindungan konsumen;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen;
e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. Melakukan penelitian dan meperiksaan sengketa periindungan konsumen;
g. Mendapatkan, meneliti dan / atau menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan; 


h. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap periindungan konsumen;

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) berfungsi menangani dan menyelesaikan sengketa diluar jalur pengadilan. Oleh karena itu BPSK mempunyai kewenangan, adalah sebagai berikut:
a. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
b. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan atau setiap orang orang yang diduga mengetahui pelanggaran terhadap Undang-Undang Npmor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK);
c. Meminta bantuan pada penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK;
d. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian dipihak konsumen;
e. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UUPK pasal 52; 
Dengan demikian, apabila keberatan yang dijatuhkan telah memenuhi syarat seperti yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (3), majelis hakim dapat menerbitkan pembatalan putusan BPSK. Jadi, konsumen hanya dapat mengajukan permohonan eksekusi terhadap putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan kepada PN. Oleh karena itu permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang telah diperiksa melalui prosedur keberatan, ditetapkan oleh PN yang memutus perkara keberatan bersangkutan (Pasal 7 ayat 1 dan 2 Perma No.l tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan Badan penyelesaian Sengketa Konsumen). 


contoh kasus:


JAKARTA - Kasus beli iPhone 6 Plus dapat sabun mandi melalui situs belanja online Lazada yang dialami seseorang bernama Danis Darusman, disebut-sebut mampu menimbulkan dampak buruk bagi e-commerce di Indonesia.
Menurut Sekjen Indonesia Telecommunications Users Group (IDUTG), Muhammad Jumadi, mengatakan, permasalahan yang banyak dialami e-commerce saat ini adalah masuknya data yang besar namun tidak diimbangi oleh sistem aplikasi yang baik.
BERITA TERKAIT +
 “Salah satu permasalahan dalam e-commerce ialah dengan data yang besar banyak kemungkinan salah code apabila tidak disiapkan sistem aplikasi yang memadai, perlu adanya sistem keamanan yang memadai sehingga data tidak mudah di-hacked,” ujar Jumadi kepada Okezone.
Meskipun tidak ada indikasi di-hack atau sistem keamanan yang dimiliki Lazada telah benar-benar aman, Lazada tetap perlu melakukan evaluasi terkait sistem yang ada di dalam tubuh mereka.
“Jika sistem keamanan data Lazada memang sudah secure, ada kemungkinan kesalahan kode barang dalam sistem di Lazada yang menyebabkan peristiwa itu dapat terjadi,” tambah Jumadi.
Jumadi memberikan beberapa catatannya terkait masalah salah kirim barang yang dilakukan Lazada tersebut. Ia pun mengungkapkan jika konsumen yang merasa dirugikan dapat menuntut e-commerce bersangkutan karena memang ada dasar hukumnya.
“Seharusnya Lazada mempunyai sistem informasi tracking barang tepat yang disesuaikan dengan kode booking dan jumlah pembayaran, tidak mungkin konsumen bayar dengan nilai yang mahal untuk sabun batangan,” papar Jumadi.
“UU No. 8 perlindungan konsumen bisa digunakan oleh konsumen untuk mengklaim hal tersebut. Peristiwa terkait Lazada dapat menjadi preseden buruk bagi e-commerce kalau sampai terjadi salah kirim barang bisa jadi boomerang untuk e-commerce lain di Indonesia,” tambahnya. 


Daftar Pustaka
Ade Maman Suherman., 2005, Aspek Hukum dalam Ekonomi Global, Cet. Kedua (Edisi Revisi), Bogor, Ghalia, Indonesia.
Ahmadi Miru dan Sulaiman Yodo., 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Abdul Halim Barkullullah dan Syahrida., 2010, “Sengketa Transaksi E-Commerce Internasional” (Pengertian Sebab Kemunculan Metode Penyelesaian yang Efektif), Banjarmasin : FH. Unhas Press.
Bambang Suyoso., 2004, Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti.
Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom., 2005, Cyber Law, Aspek Hukum Teknologi Informasi, Cet. I, Bandung : PT. Rafika Aditama.
Edmon Makarim., 2004, Kompilasi Hukum Telematika, Cet. II, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Philipus M. Hadjon., 1987, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya : Bina Ilmu.
Soejono dan H. Abdurrahman., 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta.
Soerjono Soekanto., 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press.
Sriwati, Perlindungan Hukum bagi Pihak dalam Perjanjian Baku, Jurnal Yustika, Vol. III No. 2 Desember 2000.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia (Burgerlijk Wetboek).
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 

 

TUGAS_AHDE_PERLINDUNGAN KONSUMEN TUGAS_AHDE_PERLINDUNGAN KONSUMEN Reviewed by HI on 7:14 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.